Minggu, Februari 15, 2009

ARTIKEL

Tingkat Pendidikan di Indonesia

Oleh : Siti Farihah U.H

Makin lama makin ada-ada aja fenomena di masyarakat Indonesia. Dari yang rasional sampe yang irrasional. Contohnya aja di Jombang, saat ini sedang santer2nya di beritakan tentang Muhamad Ponari, si dukun cilik.. Gimana nggak, di usianya yang masih 10 tahun--dia bisa menghasilkan uang +- 80 juta sehari.. ckckck.. ngalahin gaji pak presiden
Ari, begitu dia disapa..lahir dari pasangan Kasim [38] dan Mukaromah [28] yang hanya bekerja sebagai buruh tani. Dia mulai mengobati orang2 sakit di rumah orang tuanya yang berdinding gedhek yang berlokasi di Dusun Kedungsari, Balongsari, Megaluh, Jombang-Kabupaten Jombang.
Fakta Lapangan
Saking banyak orang2 mengantri untuk minta 'disembuhkan' -- antrian panjang itu justeru merenggut nyawa 2 orang pasiennya, yang pertama Rumiadi (58). Pada hari Sabtu (31/1/2009) Kakek asal Desa Sumberejo, Kecamatan Purwoasri, Kediri itu, meninggal karena penyakit epilepsinya kambuh saat duduk dekat antrean.
Korban lainnya adalah Nurul Niftadi (42) warga Desa Kedungtimongo, Kecamatan Megaluh, juga meninggal di lokasi. Berbeda dengan Rumadi, Nurul meninggal setelah mendapat air dari Ponari. Hanya saja, Nurul belum sempat meminum air pemberian Ponari. Pihak keluarga menyatakan, Nurul sakit jantung.
Sampai kemudian dua pasien tewas, Polisi pun menutup sementara praktik Ponari.
Itulah salah satu bukti rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Indonesia. Masyarakat lebih memilih pengobatan alternatif, di banding pengobatan secara kedokteran.
Pendidikan masyarakat Indonesia jauh tertinggal. Hal ini didukung oleh kurangnya perhatian pemerintah. Kalaupun ada perhatian namun tidak dikelola secara serius dan profesional. Di tambah pula proses manajemen yang tidak transparan dan kebijakan yang tidak tepat sasaran, semakin membuat dunia pendidikan bangsa kita dirundung persoalan. Tak heran, kalau bicara tentang pendidikan nasional terkesan selalu yang buruk-buruknya saja.
Menakar SDM Indonesia
Ada beberapa faktor yang menentukan kesuksesan dan keberhasilan dalam pendidikan. Faktor-faktor itu dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok. Pertama, faktor perangkat keras (hardware), yang meliputi ruangan belajar, peralatan praktik, laboratorium, perpustakaan; kedua, faktor perangkat lunak (software) yaitu meliputi kurikulum, program pengajaran, manajemen sekolah, sistem pembelajaran; ketiga, apa yang disebut dengan perangkat pikir (brainware) yaitu menyangkut keberadaan guru (dosen), kepala sekolah, anak didik, dan orang-orang yang terkait di dalam proses pendidikan itu sendiri.
Dari tiga kelompok faktor di atas, maka yang menjadi penentu suksesnya belajar dan berhasilnya suatu pendidikan sangat (dominan) ditentukan oleh faktor tenaga pendidik, dalam hal ini guru di sekolah dan para dosen di Perguruan Tinggi. Meskipun di suatu sekolah dan perguruan tinggi fasilitasnya memadai, bangunannya bertingkat; meskipun kurikulumnya lengkap, program pengajarannya hebat, manajemennya ketat, sistem pembelajarannya oke, tapi para tenaga pengajarnya (guru/dosen) sebagai aplikator di lapangan tidak memiliki kemampuan (kualitas) dalam penyampaian materi, cakap menggunakan alat-alat tekhnologi yang mendukung pembelajaran, maka tujuan pendidikan akan sulit dicapai sebagaimana semestinya. Mantan Mendikbud, Fuad Hassan, pernah mengingatkan, bahwa tanpa guru yang menguasai materinya mustahil suatu sistem pendidikan berikut kurikulum serta muatan kurikulernya dapat mencapai hasil sebagaimana yang diidealkan.
Sikap guru
Di samping faktor penyebab rendahnya kualitas tenaga pendidik di atas, apa yang disebut dengan "On going Formation" terhadap guru penerapannya juga dinilai salah kaprah selama ini. Menurut ahli pendidikan, J Drost (2002), on going formation bermakna "kegiatan membentuk atau mewujudkan". Maksudnya, membentuk atau mewujudkan mutu guru secara terus menerus sebagai guru. Kegiatan on going formation selama ini oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dilaksanakan lewat penataran. Namun apa yang diberikan dalam penataran itu biasanya bukan yang dibutuhkan guru. Di tambah lagi penatarnya yang tidak lebih bermutu pengetahuannya dan juga tidak lebih lama pengalamannya dari para petatar. Kesan yang timbul, penataran yang sering dilakukan buat guru hanya sekedar menutupi kekurangan karena studi yang tidak beres.
Yang lucunya, banyak guru dan dosen yang menyuruh anak didiknya membaca dan rajin ke pustaka, tetapi guru dan dosennya sendiri jarang membaca ke pustaka. Seakan-akan pustaka hanya milik siswa dan mahasiswa. Ironisnya, kata Prof. Dr. Ki Supriyoko, ada dosen yang malu ke pustaka karena takut dikatakan bodoh oleh mahasiswanya. Bila diteliti, jarang ada bacaan yang bermutu di ruang kerja para guru dan dosen, di rumah terlebih lagi di sekolah.
Sehingga untuk meningkatkan mutu pendidikan atau pengajaran di sekolah-sekolah atau di PT-PT saja, acapkali kita mendatangkan tenaga kependidikan dari luar negeri. Kasus Riau misalnya, pernah diberitakan bahwa daerah Bengkalis mengontrak para guru Malaysia untuk mengajar di bidang eksakta dan Bahasa Inggris. Padahal dahulunya, negara Malaysialah yang meminta para guru kita untuk mengajar di sekolah-sekolah mereka. Ironis! Inilah kenyataannya, bahwa kualitas tenaga pendidik kita, suka tak suka kita akui memang jauh tertinggal.
Indonesia sudah salah menerapkan perkembangan Indonesia semenjak dahulu, yang
seharusnya adalah penduduknya dahulu dikembangkan malah di Indonesia yang di kembangkan adalah teknologi terlebih dahulu sehingga penduduk Indonesia yang rata-rata mempunyai pendidikan yang rendah tidak mampu menerima perkembangan teknologi. Sehingga akibatnya Indonesia menjadi:
Tertinggal dalam hal teknologi
Banyak pengganguran
Perekonomian tidak bisa maju
Pejabat-pejabat hanya mementingkan diri sendiri
Mempunyai tingkat pengganguran dan kemiskinan tingkat tinggi
Perekonomian rakyat hancur total
Terjadi Inflasi
Terjadi perpecahan
Terjadi Rasisme dikarenakan Iri terhadap keturunan cina yang sukses
Isi perut lebih diutamakan dibanding yang lain
Terjadi Jambret, Maling, Copet dkk
Tidak mempunyai usaha untuk bekerja keras
Tingkat pendidikan rendah
Tingkat kepercayaan antar orang minim
Indonesia selalu terpaku terhadap Hukum Adat sehingga menghambat perkembangan daerah yang berakibat pada :
Penyebaran teknologi tidak merata
Daerah yang maju akan mejadi semakin maju dan yang tertinggal semakin tertinggal
Anggapan masyarakat masih rendah terhadap hal-hal baru
Reaksi terhadap sesuatu yang baru terlambat
Di tengah gambaran pendidikan Indonesia yang suram itu muncul sejumlah fenomena yang memberi harapan. Sejumlah remaja dari Indonesia berhasil memperoleh medali dalam Olimpiade di bidang teknologi dan sains. Selalu saja muncul pemenang lomba ilmiah remaja dengan penelitian yang kreatif. Bahkan sekelompok remaja dari sebuah sekolah di Jayapura bisa meraih juara pertama lomba ilmiah remaja. Di tingkat perguruan tinggi, muncul sejumlah nama rajin melakukan riset dan menulis di jurnal dan mencapai reputasi di tingkat internasional. Prestasi-prestasi individual itu akan menjadi critical mass yang dapat menopang kemajuan bangsa bila pendidikan dikelola dengan benar.


SUMBER :
http://www.bluefame.com
http://www.indoforum.org
http://groups.google.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar