Rabu, Februari 18, 2009

Maulid Nabi Muhammad SAW

Maulid Nabi Muhammad
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Maulid Nabi Muhammad SAW terkadang Maulid Nabi atau Maulud saja (bahasa Arab: مولد، مولد النبي‎), adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW, yang dalam tahun Hijriyah jatuh pada tanggal 12 Rabiul Awal. Kata maulid atau milad adalah dalam bahasa Arab berarti hari lahir. Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Secara subtansi, peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Rasulullah Muhammad SAW.
Sejarah
Perayaan Maulid Nabi diperkirakan pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi, seorang gubernur Irbil, di Irak pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (1138-1193). Adapula yang berpendapat bahwa idenya sendiri justru berasal dari Sultan Salahuddin sendiri. Tujuannya adalah untuk membangkitkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW, serta meningkatkan semangat juang kaum muslimin saat itu, yang sedang terlibat dalam Perang Salib]] melawan pasukan Kristen Eropa dalam upaya memperebutkan kota Yerusalem.
Makna Kelahiran Muhammad Saw
Kelahiran Muhammad Saw tentu tidaklah bermakna apa-apa seandainya
beliau tidak diangkat sebagai nabi dan rasul Allah, yang bertugas
untuk menyampaikan wahyu-Nya kepada umat manusia agar mereka mau
diatur dengan aturan apa saja yang telah diwahyukan-Nya kepada Nabi-
Nya itu. Karena itu, Peringatan Maulid Nabi Saw pun tidak akan
bermakna apa-apa —selain sebagai aktivitas ritual dan rutinitas
belaka— jika kaum Muslim tidak mau diatur oleh wahyu Allah, yakni al-
Qur'an dan as-Sunnah, yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad Saw ke
tengah-tengah mereka. Padahal, Allah SWT telah berfirman:
Apa saja yang diberikan Rasul kepada kalian, terimalah; apa saja
yang dilarangnya atas kalian, tinggalkanlah. (Qs. al-Hasyr [59]: 7).
Lebih dari itu, pengagungan dan penghormatan kepada Rasulullah
Muhammad Saw, yang antara lain diekspresikan dengan Peringatan
Maulid Nabi Saw, sejatinya merupakan perwujudan kecintaan kepada
Allah, karena Muhammad Saw adalah kekasih-Nya. Jika memang demikian
kenyataannya maka kaum Muslim wajib mengikuti sekaligus meneladani
Nabi Muhammad Saw dalam seluruh aspek kehidupannya, bukan sekadar
dalam aspek ibadah ritual dan akhlaknya saja. Allah SWT berfirman:

Katakanlah, "Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku."
(Qs. Ali-Imran [3]: 31).

Dalam ayat di atas, frasa fattabi'ûnî (ikutilah aku) bermakna umum,
karena memang tidak ada indikasi adanya pengkhususan (takhshîsh),
pembatasan (taqyîd), atau penekanan (tahsyîr) hanya pada aspek-aspek
tertentu yang dipraktikkan Nabi Saw.

Di samping itu, Allah SWT juga berfirman:
Sesungguhnya engkau berada di atas khuluq yang agung. (Qs. al-Qalam
[68]: 4).
Di dalam tafsirnya, Imam Jalalin menyatakan bahwa kata khuluq dalam
ayat di atas bermakna dîn (agama, jalan hidup) (Lihat: Jalalain,
Tafsîr Jalâlain, jld. 1, hal. 758). Dengan demikian, ayat di atas
bisa dimaknai: Sesungguhnya engkau berada di atas agama/jalan hidup
yang agung. Tegasnya, menurut Imam Ibn Katsir, dengan mengutip
pendapat Ibn Abbas, ayat itu bermakna: Sesungguhnya engkau berada di
atas agama/jalan hidup yang agung, yakni Islam (Ibn Katsir, Tafsîr
Ibn Katsîr, jld. 4, hal. 403). Ibn Katsir lalu mengaitkan ayat ini
dengan sebuah hadis yang meriwayatkan bahwa Aisyah istri Nabi Saw
pernah ditanya oleh Sa'ad bin Hisyam mengenai akhlak Nabi Saw Aisyah
lalu menjawab:

"Sesungguhnya akhlaknya adalah al-Quran." [HR. Ahmad].

Dengan demikian, berdasarkan ayat al-Qur'an dan hadis penuturan
Aisyah di atas, dapat disimpulkan bahwa meneladani Nabi Muhammad Saw
hakikatnya adalah dengan cara mengamalkan seluruh isi al-Qur'an,
yang tidak hanya menyangkut ibadah ritual dan akhlak saja, tetapi
mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Artinya, kaum Muslim
dituntut untuk mengikuti dan meneladani Nabi Muhammad Saw dalam
seluruh perilakunya: mulai dari akidah dan ibadahnya;
makanan/minuman, pakaian, dan akhlaknya; hingga berbagai muamalah
yang dilakukannya seperti dalam bidang ekonomi, sosial, politik,
pendidikan, hukum, dan pemerintahan. Sebab, Rasulullah Saw sendiri
tidak hanya mengajari kita bagaimana mengucapkan syahadat serta
melaksanakan shalat, shaum, zakat, dan haji secara benar; tetapi
juga mengajarkan bagaimana mencari nafkah, melakukan transaksi
ekonomi, menjalani kehidupan sosial, menjalankan pendidikan,
melaksanakan aktivitas politik (pengaturan masyarakat), menerapkan
sanksi-sanksi hukum (`uqûbat) bagi pelaku kriminal, dan mengatur
pemerintahan/negara secara benar. Lalu, apakah memang Rasulullah Saw
hanya layak diikuti dan diteladani dalam masalah ibadah ritual dan
akhlaknya saja, tidak dalam perkara-perkara lainnya? Tentu saja
tidak!

Jika demikian, mengapa saat ini kita tidak mau meninggalkan riba dan
transaksi-transaksi batil yang dibuat oleh sistem Kapitalisme
sekular; tidak mau mengatur urusan sosial dengan aturan Islam; tidak
mau menjalankan pendidikan dan politik Islam; tidak mau menerapkan
sanksi-sanksi hukum Islam (seperti qishâsh, potong tangan bagi
pencuri, rajam bagi pezina, cambuk bagi pemabuk, hukuman mati bagi
yang murtad, dan lain-lain); juga tidak mau mengatur
pemerintahan/negara dengan aturan-aturan Islam? Bukankah semua itu
justru pernah dipraktikan oleh Rasulullah Saw selama bertahun-tahun
di Madinah dalam kedudukannya sebagai kepala Negara Islam (Daulah
Islamiyah)?
Perayaan Maulid Nabi Saaw Sebagai Syiar Islam
Kaum muslim di seluruh dunia memperingati perayaan Maulid Nabi yang bersejarah, untuk menyambut keberkatan dan kebahagian pada hari tersebut. Hal ini merupakan suatu adat (habit) dan syiar Islam yang turun temurun yang telah dilakukan oleh para petua terdahulu. Dalam memperingati hari kelahiran Nabi Saaw yang diperingati di seluruh pelosok di Indonesia diadakan sebuah acara tertentu, misalnya dengan melantunkan syair-syair dan qasidah-qasidah pujian, pembacaan maulid, ceramah yang berisikan hikmah keteladanan baginda Rasulullah Saaw dan lain sebagainya. Namun sayangnya, kaum wahabi tidaklah memanfaatkan momentum bersejarah ini, dan dianggap sebagai sebuah bid’ah yang sesat.
Islam memberikan hukum yang jelas tentang hal ini, yang mana mereka berpijak pada dalil Alqur’an dan hadist. Di dalam alqur’an Allah Swt berfirman: “Demikianlah (perintah Allah). dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, Maka Sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS Al-Hajj ayat 32)
Dalam ayat diatas berisi perintah Allah Swt untuk menghidupkan berbagai bentuk dari syiar Allah Swt, sebagai bukti kecintaan dan ketaqwaan pada diri hamba-Nya. Banyak terdapat ayat-ayat lain sebagai bentuk pengagungan syiar agama, diantaranya; dalam surat AlBaqarah ayat 125, Allah Swt berfirman: . “Dan (ingatlah), ketika kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat.”
Yang menjadi pengertian ‘syiar Allah’ disini, bahwasannya Pemilik Syariat (Allah Swt) telah memuliakannya dan tidak menentukannya sebagai bentuk luar (misdaq) yang khusus, dengan melalui perkembangan zaman telah menjadikannya sebagai urf (menurut kacamata pandangan masyarakat), sebagai suatu dalil didalam mengagungkan syiar-syiar agama.
Tentang kemuliaan hari kelahiran Nabi Saaw, dalam Shahih Muslim yang dinukil dari Abi Qatadah: “Sesungguhnya Rasulullah Saaw telah ditanya tentang puasa hari Senin, maka beliau berkata: “Pada hari itu aku dilahirkan dan juga pada hari tersebut Al-Qur’an diturunkan kepadaku.” Dan hadist Baihaqi yang dinukil dari Anas : “Sesungguhnya Nabi Saaw setelah kenabiaannya telah mengakikahkan dirinya dengan menyembelih seekor kambing. Dengan melalui riwayat ini, juga terdapat riwayat yang mana Abu Thalib pada hari ketujuh kelahiran Nabi Saaw telah mengakikahkan seekor kambing.”
Disini kaum Wahabisme mengatakan, perayaan maulid tersebut sebagai sebuah bid’ah yang sesat, yang dianggap halal padahal ternyata hukumnya haram. Kita katakan disini bahwa selama kita mempunyai dalil yang jelas tidaklah hal tersebut dianggap sebagai sebuah bid’ah. adanya kerancuan terhadap interpretasi bid’ah yang mereka pahami sebagai sebuah persoalan yang kini belum terpecahkan. Yang hakikat sesungguhnya adalah dalil syar’inya yang sudah cukup jelas. Namun bagaimanapun, argumentasi kita ajukan belumlah dapat menyakinkan mereka. Adanya unsur fanatisme yang hingga kini mereka pertahankan.
Sebuah landasan hukum bagi penyelenggaraan maulid Nabi Saaw adalah wujud kecintaan yang tertanam pada hati-hati pencinta Nabi Saaw yang juga diperintahkan Allah Swt dalam firman-Nya: “Katakanlah: “Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS Taubah ayat 24).
Namun yang terpenting adalah perayaan maulid Nabi Saaw merupakan ajang dakwah yang berpontensial guna mengenang kembali jasa perjuangan dan integritas Nabi Saaw sebagai seorang pemimpin yang mengagumkan, yang memberikan keteladanan bagi umatnya,dalam Al-Qur’an juga disinggung;. “Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS Al-Ahzab ayat 21). Dan sekaligus membawa pesan-pesan Islami yang berguna bagi seluruh lapisan masyarakat.

Sumber :
http://id.wikipedia.org
http://abuaqilah.wordpress.com
http://acmy.id.or.id

bY: nITa moNIka 9b

Tidak ada komentar:

Posting Komentar